Syukuri Apa yang Ada..Hidup adalah Anugrah

Kamis, 25 Februari 2010

Maraknya Penjualan Bayi di Kampung Beting

Jakarta: Sudah menjadi rahasia umum bahwa penjualan bayi marak di Kampung Beting, Koja, Jakarta Utara. Lilitan kemiskinan membuat sekitar seribu kepala keluarga di tempat itu gelap mata hingga menjalankan praktik jual-beli bayi.

Kampung Beting pada era 70-an adalah lahan garapan warga untuk bercocok tanam. Pada 90-an, PT Kotindo Karya mengklaim kepemilikan tanah tersebut. Barulah pada 2001, Badan Pertahanan Negara mengeluarkan surat pernyataan pembebasan tanah tersebut dari PT Kotindo Karya. Sehingga, tanah tersebut menjadi milik negara.

Namun, bukannya menjadi lebih baik, keadaan Kampung Beting justru makin parah. Kawasan itu bagai tak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Tidak ada RT-RW atau struktur pemerintahan lainnya di tempat itu. Penduduknya pun sama sekali tidak mendapat jaminan kesehatan masyarakat.

Dengan latar belakang itu muncul ide yang tidak rasional. Untuk sekadar bertahan hidup, warga di tempat itu nekat menjual janin di rahim kaum perempuannya. Aminah, misalnya. Dengan lancar dan tanpa rasa bersalah, ia memberikan kedua bayinya kepada orang lain demi imbalan Rp 1 juta.

Ternyata, langkah itu diikuti oleh ibu-ibu muda lain. Sempat ditemukan, seorang ibu berusia 17 tahun tega menjual bayinya. Ia menyerahkan sang jabang bayi kepada seseorang yang dipanggil "tante".

Tante yang dimaksud adalah seorang ibu yang telah delapan tahun tinggal di Kampung Beting dan telah lama mempekerjakan ibu muda tadi di toko kelontong miliknya. Karena tak sanggup membayar biaya persalinan, maka ia "rela" menggantinya dengan hak kepemilikan anak.

Pemindahan hak kepemilikan anak biasa terjadi di Kampung Beting. Ada yang menyebutnya sebagai penjualan bayi. Tapi, ada juga yang menolak disebut penjualan bayi dan lebih senang dibilang "pengalihan hak asuh anak". Ironisnya, hal itu banyak terjadi di klinik yang letaknya tak jauh dari Kampung Beting.

Bidan di tempat itu memang mengaku tidak tahu-menahu soal transaksi penjualan anak. Kenyataannya, janin di dalam kandungan pun sudah diincar beberapa orang untuk dipindahtangankan. Hal itulah yang dilakukan Ibu Dini, pertengahan Februari lalu.

Ia menjual bayinya karena ingin membayar hutang. Padahal, uang itu akan digunakannya untuk mengganti handphone yang dicuri dari pemilik kontrakan. Setelah wartawan mempertanyakan persoalan itu, akhirnya penjualan janin itu pun urung dilakukan.

Di luar kasus-kasus itu, banyak juga warga yang merawat anaknya dengan kasih sayang. Misalnya saja, Erna.

Di sebuah rumah sederhana dengan dinding triplek, Erna merawat dan memberikan perhatian penuh kepada anaknya --yang belum atau tidak dijualnya. Seorang putranya telah dialihtangankan kepada seseorang demi membayar biaya persalinan sebesar Rp 2 juta.

Modus penggantian biaya persalinan, lagi-lagi, menjadi alasan utama untuk memindahtangankan bayi yang baru lahir kepada orang lain. Tidak hanya itu, tanpa ragu, Erna juga menunjukkan surat pernyataanyan soal transaksi pengalihan anak yang ditulis dan ditandatanganinya di atas sebuah materai atas dasar sukarela, dua tahun salam.

Sungguh, kemiskinan telah mendorongnya ke situasi yang sangat memprihatinkan. Anak, yang sejatinya adalah titipan Sang Khalik, justru diperjualbelikan kepada orang lain demi uang yang tak seberapa.

Menurut Lembaga Sosial Masyarakat setempat, sebanyak 26 kasus penjualan janin terjadi di Kampung Beting dalam sepuluh tahun terakhir ini. Sebaliknya, seorang tokoh masyarakat setempat, Haris, membantah tuduhan itu.

"Di Kampung Beting tidak ada penjualan bayi atau janin. Yang ada hanyalah pindah tangan bayi tanpa proses adopsi yang legal," kata Haris. Lantas, apa bedanya?

Psikolog Universitas Indonesia Ida Ruwaida berpendapat, situasi itu sebagai pergeseran nilai di masyarakat. Sebab, katanya, peran negara dalam melindungi generasi penerusnya sangat minimal.

Keadaan itu bisa jadi sedikit beruntung dibandingkan bayi yang dibuang di tempat umum atau tempat sampah. Yang pada akhirnya, mereka menghuni panti asuhan. Di Panti Asuhan Balita Tunas Bangsa Cipayung, Jakarta Timur, misalnya.

Karena banyaknya anak yang buang dan harus ditampung di panti asuhan milik Dinas Sosial DKI Jakarta, maka daya tampungnya melebihi kapasitas. Idealnya, panti itu hanya merawat maksimal 60 anak.

Melihat keadaan itu, sekali lagi, memberikan gambaran soal nasib segelintir anak-anak Indonesia yang terpinggirkan. Bisa jadi faktor ekonomi didapuk sebagai pemicu utama tingginya angka penjualan bayi dan anak-anak. Dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air, Jakarta menempati posisi kedua sebagai daerah dengan kasus perdagangan anak tertinggi setelah Jawa Barat.

Sesuai undang-undang, seharusnya negara bertanggung jawab melindungi nasib para tunas muda di negeri ini. Namun, tugas itu kerap kali terabaikan. Sindikat perdagangan bayi di Tanah Air merajalela. Bahkan, sebagian besar bayi dan anak diperdagangkan secara domestik atau regional hingga benua Asia dan Eropa. Baik dilakukan sindikat yang terorganisir maupun yang bersifat pribadi, seperti di Kampung Beting.

Apa pun alasannya, anak-anak tersebut butuh perhatian kita. Adopsi atau pengangkatan anak menjadi alternatif menyelamatkan nasib mereka. Namun, harus melalui prosedur legal.

Melihat keadaan demikian, negara beserta perangkatnya harus lebih aktif melindungi tunas bangsa. Tujuannya, agar kesedihan para ibu-ibu yang telah menyerahkan anaknya kepada orang lain --dengan imbalan uang ala kadarnya-- tidak menjadi penyesalan yang terlambat.

sumber : http://berita.liputan6.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar