Syukuri Apa yang Ada..Hidup adalah Anugrah

Sabtu, 27 Maret 2010

Film Di Bawah Langit


Jakarta - Gelung (Opick) begitu terpukul atas keputusan ayah angkatnya yang menikahkan Maisaroh (Inneke Koesherawaty) dengan Zaelani (Agus Kuncoro). “Aku ikhlas, Dik, menerima semua keputusan Bapak,” kata Gelung kepada kekasihnya itu. Meski begitu, Gelung meradang dan diliputi dendam.

Gelung-Zaelani adalah dua yatim piatu yang diasuh Kiai Akhmad (Dolly Marten), ayah Maisaroh. Gelung yang tak kuasa menerima keputusan itu akhirnya hengkang dari rumah Kiai. Ia memilih tinggal di gubuk reyot di pesisir Cilacap, Jawa Tengah. Lalu Gelung menjadi gila karena patah hati yang tak terperi.

Inilah debut film Opick, pelantun tembang religi, yang populer dengan lagu Tombo Ati. Film Di Bawah Langit juga memunculkan sosok Opick yang berbeda: rambut panjang tak terurus, ikat kepala dari kain, dan gaya slengean--jauh dari citra santunnya selama ini.

Dan di film tersebut Gelung telah ditahbiskan nelayan di pesisir Cilacap sebagai tokoh spiritual setengah gila. Banyak nasihat spiritual yang disampaikannya “aneh-aneh”. Misalnya, Gelung menyuruh seorang nelayan melaut ketika musim ikan sedang paceklik. “Sudah sana melaut, nanti saya doakan Gusti Allah ngasih ikan banyak,” katanya. Saat fajar menyingsing, perahu mendarat dengan penuh ikan, dan tersebarlah berita kesaktian Gelung.

Dalam penggarapan film tersebut, Opick menempatkan diri all in one: sebagai sutradara, pemain utama, produser, penulis skenario, dan penata musik. Dan hasilnya boleh dibilang belum maksimal. Meski telah merogoh kocek hingga sekitar Rp 5 miliar, Opick belum mampu menghadirkan konflik manis sebagai film religi.

Opick seakan ingin menjejalkan segala ide ke dalam film tersebut, sehingga klimaks antara Gelung dan Maisaroh terasa datar karena tenggelam dalam konflik lain yang melebar. Ketika rasa iba penonton masih terfokus pada kesedihan Gelung, muncul banyak permasalahan lainnya, seperti kematian sang kiai, tertangkapnya anak-anak asuh mereka karena mencuri, hingga kematian Zaelani, yang membuat klimaks film ini bias.

Tapi, bukan berarti film ini sepenuhnya buruk. Meski tak ada cerita spesial dan acting Opick masih hambar, film ini sukses menghadirkan wisata alam pantai Cilacap yang cantik. Bahasa gambar yang disajikan film ini pun bisa memanjakan visual penonton. Dan jika Opick mau lebih sedikit jeli membidik tradisi kampung nelayan yang mampu menjadi pemanis alur, mungkin film ini bisa lebih maksimal.Aguslia Hidayah

DATA FILM

Judul: Di Bawah Langit

Genre: Drama

Sutradara: Opick

Pemain: Inneke Koesherawaty, Opick, Agus Kuncoro, Dolly Marten

Produksi: Opick Tombo Ati Film

Berontak Melawan Depresi

Apa yang kaulakukan jika kau berada di dasar yang paling dasar? Jawabannya adalah mendaki puncak tanpa batas," begitulah perempuan itu membuka monolog tentang dirinya. Ia terus bercerita tentang apa yang menimpa. Wajah frustrasi tertutup oleh asap rokok yang tak henti mengepul dari mulutnya. Perempuan yang diperankan oleh Kartika Jahja itu berdiri dan terduduk kembali di sebuah kursi malas, berulang-ulang hingga ceritanya usai.

Film At the Very Bottom of Everything (Di Dasar Segalanya) menjadi kisah yang bertutur tentang perjuangan hidup melawan penyakit psikis, bipolar disorder. "Film ini sangat berarti bagi saya. Karena saya sendiri mengalaminya," kata sutradara Paul Agusta.

Film berdurasi 84 menit ini tak hanya diungkap secara narasi. Penderitaan Paul, yang pernah mengidap penyakit depresi akut ini, diinterpretasikan pula secara visual. "Saya hanya ingin orang lain merasakan penyakit ini. Bukan mengasihani saya," ujar Paul. Jumat pekan lalu, Kineforum mendapat kesempatan untuk pertama kalinya memutar film indie ini setelah dibawa pulang dari Festival Film Internasional Rotterdam.

Sebuah perjalanan surealis dan penuh simbol. Animasi tergarap untuk menggantikan adegan-adegan yang mungkin akan tampak monoton jika diperankan oleh aktor sesungguhnya. Film dihadirkan dalam 10 segmen. Setiap bagian menceritakan proses ketika mereka bergulat dengan penyakit ini. "Agar lebih detail, sehingga setiap elemen bisa dibahas seemosional mungkin," katanya.

Tika, yang juga vokalis band Tika and the Dissident, meneruskan ide Paul dengan menulis ulang naskah narasi itu. Ia, yang juga pernah mengalami penyakit ini, tak merasa kesulitan menerjemahkannya. "Betapa penting orang mengetahui penyakit ini," ujarnya. “Sebab, ada kemungkinan 95 persen orang yang mengalaminya akan menyakiti diri sendiri.”

Sepuluh segmen bertutur dengan runtut. Bermula dari kisah kejatuhan atas sesuatu yang membuat jiwanya terguncang, The Falls. Lalu guncangan itu mulai dirasakan olehnya tanpa ia tahu bagaimana harus mengurai dalam segmen The Illness. Detail emosi terus bergulir dengan visualisasi tubuh manusia penuh luka yang terjatuh dalam dasar gelap. Ingin segera naik dari jurang tanpa cahaya itu tapi selalu saja gagal.

Narasi kemudian beralih pada bagian Recovery. Model yang diperankan berusaha kembali kepada realitas yang dihadapinya. Kini ia tahu apa yang selazimnya dilakukan untuk bisa bangkit. "Aku tahu apa yang kulakukan agar aku tetap bertahan. Kuhadapi apa yang dilakukan dunia ke arah wajahku. Aku tidak takut!"

sumber : http://www.tempointeraktif.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar